Etika dan Profesi Jurnalistik

Ini artikel kalo gak salah dari tahun 2005 waktu ngampu mata kuliah dasar-dasar jurnalistik. Daripada kebuang somewhere di harddisk lebih baik di publish siapa tau masih ada yang bisa menggunakannya. enjoy!

————————————————————————————————————————————————-

Secara histories etika sebagai filsafat lahir dari keambrukan tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun yang lalu. Karena pandangan-pandangan lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercayai, para filosof mempertanyakan kembali norma-norma dasar bagi kelakuan.manusia. Situasi itu berlaku pada zaman sekarang juga, bahkan bagi kita masing-masing. Yang dipersoalkan bukan hanya apakah yang merupakan kewajiban saya dan apa yang tidak, melainkan manakah norma-norma untuk menentukan apa yang harus dianggap sebagai kewajiban. Norma-norma moral sendiri dipersoalkan. Misalnya dalam bidang etika seksual, hubungan anak dan orang tua, kewajiban kepada negara, etika sopan santun dan jika kita mengambil isu dalam materi yang akan kita bahas yaitu etika dalam profesi jurnalistik.

Tapi yang perlu kita ingat bahwa etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika melainkan ajaran moral. Etika mau mengerti mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab dengan pelbagai ajaran  moral.

Begitu juga di dalam profesi kewartawanan, etika tidak mengajarkan seorang wartawan untuk memilih berita yang satu dibandingkan berita yang lainnya ataupun memilih narasumber satu diantara narasumber yang lainnya, karena itu semua didasarkan pada pertimbangan moral dan kesepakatan bersama. Tetapi etika jurnalistik memberikan tuntunan bagi seorang wartawan agar dalam menjalankan profesinya, sang wartawan dapat bertindak dalam garis yang menyeimbangkan antara hak dan kewajiban baik bagi dirinya sendiri maupun bagi lingkungan sekitarnya.

 

 

Aturan Hukum Dalam Industri Pers;

Isu yang Selalu Menjadi Kontroversi

            Kemajuan dunia jurnalistik di Indonesia telah membangkitkan pers menjadi salah satu industri yang tumbuh pesat di Indonesia. Pertumbuhan tersebut ternyata diikuti pula oleh makin kompleks kinerja baik internal maupun eksternal yang harus dilakukan oleh insan-insan pers dalam hal ini adalah perusahaan media, agen distributor, biro iklan dan yang paling penting adalah profesi wartawan itu sendiri. Hubungan antara stakeholders tersebut sangat penting terutama jika kita mengaitkan kepada system pers yang lebih besar dimana masyarakat sebagai konsumen media juga ada di dalamnya. Persinggungan antara komponen system tentunya tidak bisa dielakkan, jika ini terjadi maka disitulah etika berfungsi sebagai pengkoreksi.

            Dalam perkembangan industri pers dimana perkembangan profesi journalist juga terikut didalamnya. Saat ini kita mengenal undang-undang No. 40 Tahun 1999 sebagai UU yang berlaku khusus bagi industri pers dan profesi yang berlaku didalamnya. Hal ini menyebabkan UU pers adalah lex specialis, apa itu lex specialis? Sebelumnya kita harus mengenal bahwa di dalam ketentuan hukum yang berlaku secara universal bahwa lex specialis derogate legi lex generali yang berarti ketentuan khusus mengeyampingkan ketentuan umum. UU Pers itu lex specialis, sedangkan KUH Pidana adalah lex generali. Artinya bahwa UU Pers diperuntukkan hanya mengatur dan menyelesaikan permasalahan yang timbul akibat peran dan fungsi pers dalam menjalankan kegiatan jurnalistik.

            Jika merunut kepada epistimologi dari lahirnya UU ini dimana UU ini berfungsi untuk menggantikan UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 1967 dan diubah dengan UU No. 21 Tahun 1982 bahwa UU No. 40 tahun 1999 ini memang didesain untuk memikirkan pers sudah sebagai industri yang mandiri tidak lagi memerlukan campur tangan pemerintah dan pemerintah berkomitmen untuk menjaga kebebasan pers sebagai bagian dari kebebasan dasar warga Negara yang dibuktikan dengan amandemen UUD 1945 pada pasal 27 dan 28 serta Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Azasi Manusia (HAM).

            Tetapi sekali lagi di dalam pandangan moral, hukum adalah pisau bermata dua, dia bisa menyakiti pemiliknya. Hal ini yang selalu menjadi kontroversi karena hingga saat ini dimana penggunaan UU Pers masih menjadi hal yang alergi bagi kebanyakan kasus delik pers di Indonesia. Kebanyakan kasus delik pers masih menggunakan KUH Pidana karena menuntut kepada wartawan sebagai seorang individu bukan karena profesinya. Hasil berita yang tidak benar bukan dituntut dengan menggunakan Pasal 5 dan 6 UU No. 40 Tahun 1999 melainkan dengan menggunakan pasal penyebaran informasi bohong dan pencemaran nama baik dari KUH Pidana dikarenakan kedua pasal tersebut adalah pasal elastis atau yang dikenal sebagai pasal karet karena mudah sekali untuk menjadi multi interpretasi dan mempunyai rentang waktu hukuman yang lama dibandingkan UU No. 40 Tahun 1999 yang hanya 2 tahun penjara.

 

Satu respons untuk “Etika dan Profesi Jurnalistik

  1. jurnalis itu ibarat peneliti. Artinya pada saat mereka di lapangan dan mencatat data-data pendukung tulisannya, ia telah melakukan beberapa tahapan, iaitu : (1) tahapan mengamati (peristiwa, susanana, sosial, budaya, aktiviti). Pada tahapan ini jurnalis serta merta mengamati secara jeli untuk meraih data yang valid. (2) tahapan meresepsi, iaitu suatu tahapan secara mental, yang berkait erat dengan keperluan berita (tulisan) yang akan disajikan. (3) tahapan inkubasi, iaitu tahapan mengolah data menjadi tulisan sesuai dengan keperluan yang diharapkan. (4) tahapan ekspresi, iaitu mengungkapkan pengalaman yang dimulai dari )mengamati, meresepsi, dan menyesuaikan dengan kondisi internal-eksternal) menjadi suatu idea yang wungkul dan diungkap secara verbal. (5) tahapan memferivikasi tulisannya sebelum ia serahkan kepada tim penyunting (redaktur) media.

Tinggalkan komentar